Renungan Guru di Kurikulum Merdeka

Posting Komentar
antobisa.my.id

Sudah menjadi hal yang biasa jika di Indonesia ini sangat hobi berganti-ganti Kurikulum ketika ganti Menteri Pendidikan. Semenjak saya menjadi Guru tahun 2010 hingga saat ini, sudah tiga kali saya merasakan ganti Kurikulum. Pertama adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kedua Kurikulum 2013 (Kurtilas) dan ketiga Kurikulum Merdeka hingga saat ini.

Apa yang saya rasakan sebagai Guru dalam beberapa Kurikulum tersebut. Ketika diberlakukan KTSP dan Kurtilas, berlaku pula Ujian Nasional. Secara teori memang sangat bagus, yaitu menekankan tentang pembelajaran yang berpusat pada siswa, assesmen berupa pengetahuan dan ketrampilan serta karakter. Semua itu sudah dimulai sejak KTSP. Namun yang saya rasakan pada waktu itu Guru lebih banyak mengejar materi kemudian memperbanyak latihan soal-soal bahkan hingga ada waktu tambahan khusus untuk persiapan Ujian Nasional. Oleh karena itu esensi dari KTSP dan Kurtilas belum maksimal dipraktekkan dalam pembelajaran. Guru dan Siswa lebih takut pada Ujian Nasional yang memungkinkan siswa bisa tidak lulus sehingga memberikan efek buruk pada Guru yang mengajar dan Sekolah tempat belajar. Saya merasa selama masih ada Ujian Nasional dan digunakan sebagai dasar kelulusan, maka apapun Kurikulumnya tidak akan efektif dipraktekkan di tingkat satuan pendidikan karena pasti mereka akan lebih mengutamakan mengejar materi agar semua siswa bisa lulus Ujian Nasional.

Pada saat Menteri Pendidikan Anis Baswedan, mulai Ujian Nasional direduksi fungsinya bukan sebagai satu-satunya dasar kelulusan, masih ada ujian sekolah yang dilakukan oleh satuan pendidikan. Kebijakan itu mulai memberikan kelonggaran Guru dan Siswa agar tidak tertekan menghadapi Ujian Nasional, meski tetap masih dilakukan kejar materi seperti dulu.

Pada saat Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, benar-benar di era ini lah Ujian Nasional dihapus, diganti dengan Assesmen Nasional yang bersifat survey sehingga tidak semua siswa ikut, dilakukan random sampling oleh Kementerian Pendidikan. Di era ini pula diluncurkan Kurikulum Merdeka. Kurikulum yang menekankan pembelajaran berpusat pada siswa dan pembentukan karakter. Penerapan Kurikulum Merdeka menurut saya bisa efektif karena Guru dan Siswa sudah benar-benar dapat fokus pada proses pembelajaran tanpa ada tekanan kejar materi seperti ketika masih ada Ujian Nasional. Kurikulum Merdeka juga benar-benar aplikatif. Didukung dengan digitalisasi yang efektif melalui adanya Platform Merdeka Mengajar, adanya Raport Pendidikan dan ARKAS dalam pengelolaan dana BOS.

Namun saya melihat ada hal-hal yang menurut saya justru berkurang, memang konsep pembelajaran diferensiasi ini menekankan pada minat dan bakat siswa yang berbeda-beda, namun hal itu terkadang dipraktekkan terlalu longgar sehingga terkesan siswa benar-benar "merdeka". Hal yang saya rasakan adalah sangat menurunnya kemampuan berhitung siswa. Bahkan siswa setingkat SMP yang seharusnya matematika sangat dasar itu sudah lancar, saat ini hampir sebagian besar masih sangat kesulitan. Ini miris karena sangat pentingnya matematika dasar ini. Seharusnya khusus matematika dasar, sejak di SD, siswa digembleng dengan kuat meski mereka kurang minat, karena matematika dasar ini sangat penting untuk kehidupan mereka. Baru kemudian ditingkat sekolah lanjuta atau SMA, mereka tidak perlu digembleng dengan kuat, sudah bisa memilih sesuai minat bakat saja.

Secara umum Kurikulum Merdeka ini sudah sangat baik, namun perlu penyempurnaan untuk hal yang esensial terutama siswa di tingkat dasar yaitu matematika.

MasAnto
Blogger Part-time pengisi waktu luang dan untuk menyimpan pikiran.

Related Posts

Posting Komentar